PENDAHULUAN
Negara
Indonesia yang terletak di daerah tropika mempunyai kekayaan alam yang
berlimpah ruah dan beraneka ragam. Salah satu kekayaan alam Indonesia ini
adalah mempunyai berbagai ekosistem hutan yang tersebar dari tepi laut sampai
dengan di puncak gunung beserta jenis-jenis kegiatan kehutanannya.
Hutan merupakan sumber daya alam
yang sangat penting dan bernilai baik di Indonesia maupun di dunia. Hutan bukan
saja merupakan sumber daya ekonomi yang besar dan belum dimanfaatkan, tetapi
juga yang terpenting adalah merupakan penopang kehidupan. Sejak zaman dahulu
hutan merupakan sumber utama bahan makanan, bahan bakar, dan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia. Peran hutan akan tetap seperti itu di masa yang akan
datang walaupun dalam intensitas dan bentuk yang mungkin berbeda.
Ekosistem
hutan juga berfungsi sebagai tempat hidup dan mencari makan Masyarakat di sekitar hutan (local people),
habitat berbagai jenis satwa liar dan tumbuh2an, konservasi biodiversity,
konservasi plasma nutfah, Hidro-orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Lahirnya
peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka pelaksanaan undang undang no. 5 tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang no 1 tahun 1967
tentang penanaman modal asing dan undang-undang no. 6 tahun 1968 tentang
penanaman modal dalam negeri.
Dalam
peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 dinyatakan bahwa Hak Pengusahaan Hutan
adalah hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan yang meliputi
kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan,
pengelolaan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan rencana karya pengusahaan
hutan menurut ketentuan2 yang berlaku serta berdasarkan asas kelestarian hutan
dan asas perusahaan.
Sejak
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
Serta Undang-undang Nomor 6 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri,
perkembangan di bidang pengusahaan hutan di Indonesia berkembang sangat cepat.
Pendapatan Negara yang diperoleh dari sektor pengusahaan hutan relatif besar.
Hal ini terbukti dengan devisa yang dihasilkan menduduki peringkat kedua
terbesar setelah sector minyak dan gas bumi. Disamping sebagai sumber devisa,
hutan juga mempunyai fungsi lain yang penting, yaitu fungsi hidrologi,
konservasi tanah dan air, sumber plasma nutfah, rekreasi, penelitian dan
pendidikan. Untuk pengelolaan hutan harus dilakukan secara bijaksana dan
lestari.
Pemerintah
sudah mengeluarkan serangkaian peraturan yang ditujukan untuk menjamin
kelestarian hutan sesuai dengan fungsinya. Sistem pengelolaan hutan produksi di
Indonesia meliputi system Tebang Habis Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis
Permudaan Buatan, dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Pengelolaan hutan di Indonesia
masih baru dikembangkan tiga dekade yang lalu. Pada waktu zaman orde baru,
pemerintah mulai mengambil langkah-langkah yang pragmatis dan sistematis dalam
membangun ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan ini
dipercepat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang
penanaman modal dalam negeri, UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, dan UU No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal asing.
Sejak itu berkembang pemanfaatan
hasil hutan khususnya kayu melalui pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) yang
diatur dengan PP 21 tahun 1970 dan dikelola dengan sistem tebang pilih
Indonesia (TPI) yang ditetapkan tahun 1972. Banyak perusahaan nasional maupun
internasional yang berlomba-lomba untuk mendapatkan areal HPH dalam sekala
luas. Hampir seluruh hutan produksi kemudian diberikan hak pengusahaannya
kepada para pengusaha. Produksi kayu meningkat drastis sampai mencapai
puncaknya pada tahun 80-an danmulai menurun pada tahun 90-an.
Penurunan produksi terjadi karena
kurangnya pemahaman akan kemampuan hutan untuk berproduksi sehingga yang
dipanen melebihi produktivitas hutan di samping kurangnya kesadaran untuk
menjaga kelestarian hutan agar dapat tetap berproduksi dalam jangka panjang.
Kurangnya kesadaran tersebut bukan saja pada para pengusaha tetapi juga pada
petugas kehutanan yang mengawasi pelaksanaan pengusahaan hutan. Para pemilik
HPH tidak berkeinginan untuk mengelola hutan secara lestari apalagi ijin yang
diberikan adalah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam waktu
yang terbatas dan bukan ijin usaha pengelolaan hutan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kerusakan hutan.
Berdasarkan Pedoman Umum
Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan sistem tebang
pilih atau tebang habis. Tetapi untuk menjamin kelestarian hutan, maka pada
dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan secara tebang pilih, dan permudaan
dilakukan secara alam dan buatan (Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970
tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan).
Karena hutan hujan tropika pada
umumnya berkomposisi campuran serta banyaknya jenis-jenis pohon yang komersial
terbatas, maka cara tebang pilih akan lebih umum dipakai. Untuk menjamin
kelestarian produksi hutan harus ditentukan cara dan waktu penebangan dan
permudaan hutan diatur dalam suatu sistem yaitu sistem silvikultur yang sesuai
dengan keadaan hutan, baik komposisi, struktur maupun keadaan ekologisnya.
Pemilihan dan penggunaan sistem silvikultur ditentukan oleh syarat-syarat
penggunaan sistem masing-masing, komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat
silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan nilai ekonomis hutan, cara
penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan. Mengingat keadaan hutan-hutan
di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat lain, pemilihan sistem
silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut kondisi hutan
setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan dalam
pelaksanaan eksploitasinya.
Pada tahun 1972 melalui Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No 35/Kpts/DD/1/1972 tanggal 13 Maret
1972 lahirlah Pedoman Tebang
Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan
Alam dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia (TPI) merupakan
perpaduan sistem-sistem silvikultur berdasarkan:
1. tebang
pilih dengan batas minimum diameter tertentu (50 cm dengan rotasi tebang 35
tahun),
2. penyempurnaan
hutan dengan tanaman sulaman (enrichment), dan
3. pembinaan
permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu (refining).
Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan
mempertimbangkan:
a. azas
kelestarian hutan
b. teknik
silvikultur yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta
c. sifat
tumbuh jenis pohon tertentu.
Pengelolaan hutan yang selama ini
dilakukan dengan sistem tebang pilih dimaksudkan untuk menormalkan hutan dengan
mengambil pohon-pohon yang tua, serta memelihara pohon-pohon muda, dan menanami
areal yang kosong. Sayangnya yang dilakukan hanya menebang pohon-pohon tua
tanpa memelihara pohon-pohon muda apalagi menanami areal kosong. Sebagai
akibatnya areal kosong bertambah luas dan pohon-pohonmuda tidak dapat tumbuh
dengan baik, sehingga riap tahunan tidak mencapai yang diharapkan. Dengan kata
lain produksi dari hutan akan menurun secara pasti bila tidak ada tindakan
nyata di lapangan/hutan.
PERMASALAHAN
1. Apa
yang dimaksud dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI)?
2. Apa
sajakah syarat pelaksanaan TPI serta sanksi hukum terhadap pelanggaran syarat
tersebut?
3. Apa
perbedaan antara TPI tahun 1972, TPTI 1989, dan TPTI 1993?
4. Mengapa
sistem silvikultur TPI diganti menjadi TPTI?
5. Apa
kelebihan dan kekurangan dari TPI?
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI)
Sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan
produksi di Indonesia dijabarkan dalam keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman
pengawasannya.
Dalam lampiran Surat Keputusan Direktorat
Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 telah dimuat pengertian tentang Tebang
Pilih Indonesia, (TPI), pertimbangan-pertimbangan, dasar-dasar, pelaksanaan,
sanksi dan pedoman pengawasan terhadap pelaksanaan TPI. Tebang pilih Indonesia
(TPI) adalah suatu sistem silvikultur
meliputi cara penebangan dan permudaan hutan. Sistem ini merupakan suatu
perpaduan antara sistem-sistem tebang dengan batas minimum diameter dari
Indonesia, tebang pilih Filipina (selective logging), penyempurnaan
hutan dengan tanaman pengayaan (enrichment), dan pembinaan permudaan dengan
pembebasan tumbuhan pengganggu.
Pertimbangan yang digunakan dalam sistem
silvikultur TPI adalah azas kelestarian hutan (tidak terjadi penurunan produksi
pada siklus tebang berikutnya, penyelamatan tanah dan air dan perlindungan
alam), Teknik silvikultur (kesesuaian dengan kondisi ekologi, tipe hutan dan
sifat-sifat tumbuhan) dan, memungkinkan pengusahaan hutan mendapatkan
keuntungan serta memungkinkan adanya pengawasan yang efektif dan efisien.
Dasar-dasar yang dipakai dalam TPI adalah:
1. Batas
diameter minimum tebangan,
2. Rotasi
tebang,
3. Adanya
pohon inti (pohon yang akan membentuk tegakan utama pada rotasi tebang
berikutnya),
4. Adanya
penanaman pengayaan,
5. Pencegahan
erosi dan pengamanan hutan.
Ketentuan
mengenai jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan batas diameter yang
boleh ditebang sesuai dengan ketentuan TPI, seperti pada Tabel 1.
Tabel
1. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Bata Diameter Boleh Ditebang
Sesuai Ketentuan TPI 1972
Batas
diameter yang boleh ditebang (cm)
|
Rotasi
(th)
|
Jumlah
pohon inti yang ditinggalkan (batang)
|
Diameter
pohon inti (cm)
|
|
50
|
35
|
25
|
≥35
|
|
40
|
45
|
25
|
≥35
|
|
30
|
55
|
40
|
≥20
|
Pada
Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa bila batas diameter (limit diameter) yang
dapat ditebang 50 cm keatas, maka rotasi tebang yang digunakan 35 tahun dengan
jumlah pohon inti yang ditinggalkan adalah 25 batang dengan diameter pohon inti
35 cm keatas.
Alternatif
kedua adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 40 cm
keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 45 tahun dengan jumlah pohon inti
yang harus ditinggalkan adalah 25 batang per ha dari diameter 35 cm keatas.
Alternatif
ketiga adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 30 cm
keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 55 tahun dengan jumlah pohon inti
yang harus ditinggalkan adalah 40 batang per ha dari diameter 20 cm keatas.
Pada
Tabel 1 diatas TPI telah memikirkan bervariasinya hutan kita sehingga
mengajukan tiga alternatif untuk memudahkan pelaksanaannya di lapangan. Pada
waktu itu rotasi tebang yang digunakan di Indonesia khususnya untuk penentuan
jatah penebangan tahunan (JPT) adalah 35 tahun dengan riap diameter 1 cm/tahun
sehingga alternatif pertamalah yang dianut.
Sistem silvikultur TPI terbentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 21/1970. Menurut Soerianegara (1992), limit
(batas) diameter yang digunakan ialah lazim digunakan dalam eksploitasi hutan
luar jawa. Rotasi (siklus) tebang ditentukan berdasarkan perkiraan bahwa riap
diameter pohon pada tegakan bekas tebangan ialah 1 cm per tahun. Angka ini
didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan bekas tebangan di Sumatera
Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona, yang menyebutkan riap
diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar didasarkan pada
perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm minimal 5 m3,
sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal 25 x 25 m3/ha
atau 125 m3/ha.
Pada saat pelaksanaan SK Dirjen Nomor 35
diatas yang jadi permasalahan penerapannya pada hutan-hutan tropika basah kita
adalah bervariasinya hutan-hutan Alam sehingga terbentur pada kurangnya jumlah
pohon inti pada bagian-bagian tertentu pada Hutan-hutan Alam Produksi di Indonesia. Oleh karena itu
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada tahun 1980 mengadakan penyempurnaan
Pedoman Tebang Pilih Indonesia sebagai berikut.
Tabel
2. Jumlah Pohon Inti yang Harus
Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Tahun
1980)
No
Batas
|
Jenis
Hutan
|
Diameter
Tebangan (cm)
|
Rotasi
Tebangan (th)
|
Jumlah
Pohon Inti (batang)
|
Diameter
Pohon
|
1
|
Hutan
alam campuran
|
50
|
35
|
25
|
>20
|
2
|
Hutan
eboni campuran
|
50
|
45
|
16
|
>20
|
3
|
Hutan
ramin campuran
|
35
|
35
|
15
|
>20
|
Pada
Tabel penyempurnaan pedoman TPI diatas telah terlihat bahwa Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi pada saat itu mencoba untuk memecahkan masalah
kurangnya jumlah pohon inti yang dapat ditinggalkan pada areal bekas tebangan
pada hutan-hutan tropika basah Indonesia yaitu dengan mengemukakan dua tipe
vegetasi lainnya selain hutan alam campuran yaitu hutan eboni campuran dan
hutan ramin campuran. Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan
menjadi 20 cm keatas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha (tidak 40 batang
per ha lagi seperti Tabel 1 sebelumnya). Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun dan
batas diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm keatas dengan riap
diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun).
Dari
hasil laporan pengumpulan data/informasi pelaksanaan TPI 1987 pada beberapa HPH
(Riau : PT. Silvasaki, Jambi; PT. Hatma Santi, Kalbar; PT. Kayu Lapis
Indonesia, Kalsel; PT. Inhutani II dan PT. Hutan Kintap, Kaltim; PT. Inhutani
I, PT. ITCI dan PT. BFI) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan
Fakultas Kehutanan IPB dimana penulis termasuk dalam Tim IPB sebagai bahan
untuk Tim Materi Diskusi Penyempurnaan Pedoman TPI yang dipimpin Komar Sumarna,
M.S. (yang waktu itu Direktur Pelestarian Alam, Dirjen PHPA, Dephut) Pada areal
HPH diatas, pada hutan-hutan bekas tebangan
jumlah pohon inti per ha dari diameter 20 cm keatas cukup yaitu lebih
besar dari 25 pohon per ha demikian pula
tingkat permudaan, tiang, pancang dan semai mencukupi yang berarti
kelestarian hutan pada rotasi ke 2 (dua), dan seterusnya akan terjamin.
B.
Syarat
Pelaksanaan TPI Serta Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Syarat Tersebut
Dalam pelaksanaannya, sistem silvikultur TPI
mensyaratkan adanya inventarisasi tegakan dan permudaan, penunjukkan dan
penandaan pohon inti, serta penunjukkan dan penandaan pohon yang akan ditebang.
Sebelum penebangan harus sudah dipersiapkan persemaian dari jenis-jenis pohon
kayu perdagangan. Untuk membatasi kerusakan tegakan hutan perlu dipersiapkan
tempat pengumpulan kayu, penggunaan teknik penebangan, dan pengangkutan yang
menyelamatkan pohon muda atau permudaan jenis-jenis pohon perdagangan dan pohon
inti. Usaha-usaha yang perlu dikerjakan setelah selesai penebangan adalah
inventarisasi tegakan sisa, pembebasan, penanaman sulaman, pencegahan erosi dan
pengamanan hutan dari perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan.
Dalam pedoman TPI tersebut juga disebutkan
sanksi-sanksi bagi pelanggaran atau ketidak mampuan memenuhi ketentuan
tersebut. Macam sanksi yang dikenakan adalah peringatan, denda, penurunan
target tebang tahunan dan penanaman kembali. Urutan pelanggaran mulai dari
ringan sampai yang berat berupa pencabutan HPH. Pelanggaran lebih difokuskan
pada kerusakan permudaan pohon berharga dan kerusakan pohon inti.
Pedoman pengawasan terhadap pelaksanaan TPI meliputi pengawasan di
kantor dan di lapangan. Pengawasan di kantor dikerjakan dengan meneliti dan
menilai laporan, daftar isian dari pengusaha hutan. Pemeriksaan di lapangan
dilakukan untuk mengetahui apakah pekerjaan dilakukan sesuai peraturan. Hal
yang penting untuk diteliti adalah hasil inventarisasi tegakan dan permudaan,
pelaksanaan logging plan, penunjukkan dan penandaan pohon inti dan pohon
ditebang, persemaian, inventarisasi tegakan tinggal dan derajat kerusakan.
Setelah 5 tahun tebangan perlu diteliti hasil pelaksanaan penanaman, pembebasan
dan penjarangan. Bersama-sama dengan pemegang HPH mengawasi dan mencegah
terjadinya perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan terhadap tegakan
tinggal.
C. Perbedaan Antara TPI Tahun
1972, TPTI Tahun 1989, dan TPTI Tahun 1993
TPI Tahun 1972
|
TPTI Tahun 1989
|
TPTI Tahun 1993
|
Jumlah
pohon inti ditentukan jumlahnya 25 btg/ha yang letaknya tersebar merata.
Diameter 30 cm up
|
Jumlah
pohon inti ditentukan 25 phn/ha. Setiap PU ada 1-2 pohon inti dengan interval
diameter 20-49 cm
|
Jumlah
pohon baruan (tinggi >20 cm) 200 btg/ha termasuk pohon inti (diameter
20-49 cm) yang jumlahnya 25 pohon dengan jarak antar pohon 5-9 m
|
Kegiatan
pembebasan untuk membebaskan pohon inti. Waktunya belum ditentukan hanya saja
diperlukan setelah penebangan
|
Kegiatan
pembebasan:
a.
Pembebasan
horizontal
b.
Pembebasan
vertikal
|
Kegiatan
pembebasan horizontal diganti dengan kegiatan perapian. Waktu Et+1
|
Waktu pemeliharaan
Et+10,15,20
|
Waktu
pembebasan Et+1,4
|
Waktu
pembebasan Et+2,4,6
|
Belum
ada kegiatan penjarangan
|
Waktu
penjarangan Et+9,14,19
|
Waktu
penjarangan Et+10,15,20
|
Pembangunan
persemaian wajib dilaksanakan
|
Persemaian
sederhana, bukan yang permanen
|
Persemaian
sederhana
|
Pengayaan/penyulaman
dilakukan Et+1. Pelaksanaanya tidak jelas
|
Pengayaan
1 PU harus ada 16 semai, bila kurang harus dipenuhi jumlahnya dengan
penyulaman. Waktu Et+2
|
Pengayaan
Et+3, dilakukan bila >25 PU (>1ha) tidak cukup permudaan
|
D.
Pergantian
Sistem Silvikultur TPI Menjadi Sistem Silvikultur TPTI
Penyempurnaan sistem TPI
selanjutnya dilakukan dengan pembentukan Tim/Panitia oleh Departemen Kehutanan
yang hasilnya berupa Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 mengenai
Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia, dan Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.564/KPTS/IVBPHH/ 1989 tentang Pedoman
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) beserta Lampirannya.
Sistem silvikultur TPI tahun 1972
tersebut berlaku sampai tahun 1989 sejak terbitnya Keputusan
Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan
Hutan Alam Produksi di Indonesia. Meskipun ada revisi tentang Pedoman Tebang
Pilih Indonesia oleh Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi tahun 1980, namun
pada kenyataan di lapangan tetap menggunakan sistem silvikultur TPI tahun 1972
(pasal 6 Kepmen No. 485/Kpts-II/1989 ).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
485/Kpts-II/1989 pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia dapat dilakukan dengan
sistem silvikultur:
1. Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2. Tebang
Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3. Tebang
Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Dari Kepmen No. 485 tersebut telah dibuat
Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan
Hutan No. 564/kpts/IVBPHH/1989) dan 10 (sepuluh) Petunjuk Teknik
Pelaksanaannya. Di dalam pedoman TPTI tersebut disajikan tujuan, sasaran dan
tahapan kegiatan, ketentuan umum, pengertian beberapa istilah penting,
pelaksanaan TPTI dan organisasi dan pelaporan palaksanaan TPTI.
Di dalam ketentuan umum prinsip-prinsip sistem
silvikultur TPI tahun 1972 dan hasil revisi sistem silvikutur TPI tahun 1980
telah diadopsi, antara lain:
1. Jumlah
pohon inti minimal 25 pohon per ha, batas diameter batang yang boleh ditebang
adalah 50 cm sedangkan rotasi tebang 25 tahun.
2. Etat
tebangan tahunan disesuaikan dengan rotasi tebang dan volume standing stock kayu
perdagangan
3. Pemegang
HPH perlu membuat organisasi pembinaan hutan yang terpisah dengan organisasi
logging, termasuk penggunaan tenaga teknis kehutanan serta anggaran yang
memadai untuk kegiatan pembinaan (hal ini yang ditekankan dalam TPTI tahun 1989
dan berbeda dengan sistem silvikultur TPI tahun 1972)
4. Adanya
pengecualian dan penyesuaian untuk hutan dengan komposisi dan struktur yang
khusus:
a.
Pedoman untuk sistem
silvikultur yang terpisah untuk hutan payau.
b.Pada
hutan rawa dengan komposisi jenis komersial khusus seperti ramin, perupuk dan
lain lain dan pemegang HPH tidak sanggup atau sulit melaksanakan penanaman atau
pengayaan diijinkan menebang pohon maksimal 2/3 dari jumlah pohon yang dapat
ditebang.
c.
Pada kondisi hutan rawa yang
tidak ditemukan pohon berdiameter 50 cm ke atas seperti pada hutan ramin
campuran, maka khusus untuk ramin dapat diturunkan batas diameter pohon menjadi
35 cm dengan jumlah pohon inti sedikitnya 25 pohon per ha berdiameter 15 cm ke
atas, sedangkan rotasi tebang ditetapkan 35 tahun.
d.
Pada kondisi hutan dengan
jumlah pohon muda berdiameter 20-49 cm sebagai pohon inti kurang dari 25 pohon
per ha maka kekurangannya harus ditambah dengan jenis komersial lain yang
berdiameter di atas 50 cm dan berfungsi sebagai pohon induk.
e.
Pada kondisi hutan dengan
jenis komersial lambat tumbuh dan sulit ditemukan pohon berdiameter 50 cm ke
atas seperti hutan eboni campuran, maka batas tebangan diturunkan menjadi 25
cm, jumlah pohon inti 25 pohon per ha berdiameter 15 cm ke atas dan rotasi
tebang ditetapkan 45 tahun.
E.
Kelebihan
dan Kelemahan Sistem Silvikultur TPI
Sistem silvikultur Tebang Pilih
Indonesia (TPI) ini merupakan suatu sistem silvikultur yang meliputi cara
penebangan dan permudaan hutan. Sistem ini merupakan suatu perpaduan antara
sistem-sistem tebang dengan batas minimum diameter dari Indonesia, tebang pilih
Filipina (selective logging), penyempurnaan hutan dengan tanaman
pengayaan (enrichment), dan pembinaan permudaan dengan pembebasan
tumbuhan pengganggu.
Pertimbangan
yang digunakan dalam sistem silvikultur TPI adalah azas kelestarian hutan
(tidak terjadi penurunan produksi pada siklus tebang berikutnya, penyelamatan
tanah dan air dan perlindungan alam), Teknik silvikultur (kesesuaian dengan
kondisi ekologi, tipe hutan dan sifat-sifat tumbuhan) dan, memungkinkan
pengusahaan hutan mendapatkan keuntungan serta memungkinkan adanya pengawasan
yang efektif dan efisien. Sehingga penerapan sistem silvikultur ini tidak
menyebabkan terjadi kerusakan hutan.
Namun sistem
silvikultur ini juga memiliki kelemahan tersendiri, seperti kegiatan
pengawasannya yang lemah sehingga mengakibatkan tidak tercapainya target utama
yaitu kelestarian hutan, serta pelaksanaan kegiatan-kegiatannya juga belum
tersusun dengan baik bila dibandingkan dengan sistem silvikultur TPTI, dan
pemberian sanksi terhadap pelanggara-pelanggaran ketentuannya juga berlangsung
tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Sistem
silvikultur TPI merupakan sistem silvikultur yang hanya dapat diterapkan di
hutan produksi.
2. Landasan
hokum sistem silvikultur TPI ialah Keputusan Direktorat Jenderal
Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia.
3. Dasar-dasar
yang dipakai dalam TPI adalah: Batas diameter minimum tebangan, rotasi tebang, adanya
pohon inti, adanya penanaman pengayaan, dan pencegahan erosi dan pengamanan
hutan.
4. Dalam
pelaksanaannya, sistem silvikultur TPI mensyaratkan adanya inventarisasi tegakan
dan permudaan, penunjukkan dan penandaan pohon inti, serta penunjukkan dan penandaan
pohon yang akan ditebang.
5. Sanksi-sanksi
bagi pelanggaran ketentuan-ketentuan sistem silvikultur TPI adalah peringatan,
denda, penurunan target tebang tahunan dan penanaman kembali. Urutan
pelanggaran mulai dari ringan sampai yang berat berupa pencabutan HPH.
6. Jumlah
pohon inti pada system silvikultur TPI ditentukan jumlahnya yaitu 25 btg/ha
yang letaknya tersebar merata dengan diameter 30 cm up.
7. Kegiatan
pembebasan untuk membebaskan pohon inti waktunya belum ditentukan hanya saja
diperlukan setelah penebangan.
8. Waktu
pemeliharaannya ialah Et+10,15,20.
9. Belum
ada kegiatan penjarangan pada sistem silvikultur ini.
10. Pengayaan
atau penyulaman dilakukan Et+1. Namun pelaksanaanya tidak jelas.
Saran
Diharapkan
sistem silvikultur TPI ini dapat dijadikan sebagai dasar serta pertimbangan
untuk menentukan sistem silvikultur yang lebih baik agar pengelolaan hutan kita
dapat berjalan dengan baik walaupun sistem sudah tidak digunakan lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Direktorat Jenderal
Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.
35/Kpts/DD/1972. tentang Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan
Alam, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan dan Pedoman Pengawasannya,
Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi. 1980. Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem
Silvikultur. Pelaksanaan dan Pengawasan. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi,
Jakarta.
Indrawan,
A. 1998. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur Di Indonesia. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Istomo, dkk. 2010. Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut Di Indonesia. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan Konservasi Alam. Bogor
Sianturi,
A. 2007. Pengelolaan Hutan Produksi Dengan Swakelola Di Indonesia. Peneliti dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Soerianegara, I.
1971. Sistem-sistem silvikultur untuk
hutan hujan tropika di Indonesia. Pengumuman (Communication) No. 98.
Lembaga Penelitian Kehutanan.
Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian RI.