Wednesday 9 October 2013

SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH INDONESIA (TPI)


PENDAHULUAN
Negara Indonesia yang terletak di daerah tropika mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah dan beraneka ragam. Salah satu kekayaan alam Indonesia ini adalah mempunyai berbagai ekosistem hutan yang tersebar dari tepi laut sampai dengan di puncak gunung beserta jenis-jenis kegiatan kehutanannya.
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bernilai baik di Indonesia maupun di dunia. Hutan bukan saja merupakan sumber daya ekonomi yang besar dan belum dimanfaatkan, tetapi juga yang terpenting adalah merupakan penopang kehidupan. Sejak zaman dahulu hutan merupakan sumber utama bahan makanan, bahan bakar, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Peran hutan akan tetap seperti itu di masa yang akan datang walaupun dalam intensitas dan bentuk yang mungkin berbeda.
Ekosistem hutan juga berfungsi sebagai tempat hidup dan mencari makan  Masyarakat di sekitar hutan (local people), habitat berbagai jenis satwa liar dan tumbuh2an, konservasi biodiversity, konservasi plasma nutfah, Hidro-orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Lahirnya peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka pelaksanaan undang undang no. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan undang-undang no. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri.
Dalam peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 dinyatakan bahwa Hak Pengusahaan Hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan rencana karya pengusahaan hutan menurut ketentuan2 yang berlaku serta berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Serta Undang-undang Nomor 6 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, perkembangan di bidang pengusahaan hutan di Indonesia berkembang sangat cepat. Pendapatan Negara yang diperoleh dari sektor pengusahaan hutan relatif besar. Hal ini terbukti dengan devisa yang dihasilkan menduduki peringkat kedua terbesar setelah sector minyak dan gas bumi. Disamping sebagai sumber devisa, hutan juga mempunyai fungsi lain yang penting, yaitu fungsi hidrologi, konservasi tanah dan air, sumber plasma nutfah, rekreasi, penelitian dan pendidikan. Untuk pengelolaan hutan harus dilakukan secara bijaksana dan lestari.
Pemerintah sudah mengeluarkan serangkaian peraturan yang ditujukan untuk menjamin kelestarian hutan sesuai dengan fungsinya. Sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia meliputi system Tebang Habis Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis Permudaan Buatan, dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Pengelolaan hutan di Indonesia masih baru dikembangkan tiga dekade yang lalu. Pada waktu zaman orde baru, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah yang pragmatis dan sistematis dalam membangun ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan ini dipercepat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal dalam negeri, UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan UU No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal asing.
Sejak itu berkembang pemanfaatan hasil hutan khususnya kayu melalui pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) yang diatur dengan PP 21 tahun 1970 dan dikelola dengan sistem tebang pilih Indonesia (TPI) yang ditetapkan tahun 1972. Banyak perusahaan nasional maupun internasional yang berlomba-lomba untuk mendapatkan areal HPH dalam sekala luas. Hampir seluruh hutan produksi kemudian diberikan hak pengusahaannya kepada para pengusaha. Produksi kayu meningkat drastis sampai mencapai puncaknya pada tahun 80-an danmulai menurun pada tahun 90-an.
Penurunan produksi terjadi karena kurangnya pemahaman akan kemampuan hutan untuk berproduksi sehingga yang dipanen melebihi produktivitas hutan di samping kurangnya kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat tetap berproduksi dalam jangka panjang. Kurangnya kesadaran tersebut bukan saja pada para pengusaha tetapi juga pada petugas kehutanan yang mengawasi pelaksanaan pengusahaan hutan. Para pemilik HPH tidak berkeinginan untuk mengelola hutan secara lestari apalagi ijin yang diberikan adalah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam waktu yang terbatas dan bukan ijin usaha pengelolaan hutan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan.
Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih atau tebang habis. Tetapi untuk menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan secara tebang pilih, dan permudaan dilakukan secara alam dan buatan (Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan).
Karena hutan hujan tropika pada umumnya berkomposisi campuran serta banyaknya jenis-jenis pohon yang komersial terbatas, maka cara tebang pilih akan lebih umum dipakai. Untuk menjamin kelestarian produksi hutan harus ditentukan cara dan waktu penebangan dan permudaan hutan diatur dalam suatu sistem yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan keadaan hutan, baik komposisi, struktur maupun keadaan ekologisnya. Pemilihan dan penggunaan sistem silvikultur ditentukan oleh syarat-syarat penggunaan sistem masing-masing, komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan nilai ekonomis hutan, cara penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan. Mengingat keadaan hutan-hutan di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat lain, pemilihan sistem silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut kondisi hutan setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Pada tahun 1972 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No 35/Kpts/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972 lahirlah Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia (TPI) merupakan perpaduan sistem-sistem silvikultur berdasarkan:
1.      tebang pilih dengan batas minimum diameter tertentu (50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun),
2.      penyempurnaan hutan dengan tanaman sulaman (enrichment), dan
3.      pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu (refining).
Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a.       azas kelestarian hutan
b.      teknik silvikultur yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta
c.       sifat tumbuh jenis pohon tertentu.
Pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan dengan sistem tebang pilih dimaksudkan untuk menormalkan hutan dengan mengambil pohon-pohon yang tua, serta memelihara pohon-pohon muda, dan menanami areal yang kosong. Sayangnya yang dilakukan hanya menebang pohon-pohon tua tanpa memelihara pohon-pohon muda apalagi menanami areal kosong. Sebagai akibatnya areal kosong bertambah luas dan pohon-pohonmuda tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga riap tahunan tidak mencapai yang diharapkan. Dengan kata lain produksi dari hutan akan menurun secara pasti bila tidak ada tindakan nyata di lapangan/hutan.












                                        



PERMASALAHAN
1.      Apa yang dimaksud dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI)?
2.      Apa sajakah syarat pelaksanaan TPI serta sanksi hukum terhadap pelanggaran syarat tersebut?
3.      Apa perbedaan antara TPI tahun 1972, TPTI 1989, dan TPTI 1993?
4.      Mengapa sistem silvikultur TPI diganti menjadi TPTI?
5.      Apa kelebihan dan kekurangan dari TPI?
























PEMBAHASAN
A.    Sistem Silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI)
Sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan produksi di Indonesia dijabarkan dalam keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya.
Dalam lampiran Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 telah dimuat pengertian tentang Tebang Pilih Indonesia, (TPI), pertimbangan-pertimbangan, dasar-dasar, pelaksanaan, sanksi dan pedoman pengawasan terhadap pelaksanaan TPI. Tebang pilih Indonesia (TPI) adalah suatu  sistem silvikultur meliputi cara penebangan dan permudaan hutan. Sistem ini merupakan suatu perpaduan antara sistem-sistem tebang dengan batas minimum diameter dari Indonesia, tebang pilih Filipina (selective logging), penyempurnaan hutan dengan tanaman pengayaan (enrichment), dan pembinaan permudaan dengan pembebasan tumbuhan pengganggu.
Pertimbangan yang digunakan dalam sistem silvikultur TPI adalah azas kelestarian hutan (tidak terjadi penurunan produksi pada siklus tebang berikutnya, penyelamatan tanah dan air dan perlindungan alam), Teknik silvikultur (kesesuaian dengan kondisi ekologi, tipe hutan dan sifat-sifat tumbuhan) dan, memungkinkan pengusahaan hutan mendapatkan keuntungan serta memungkinkan adanya pengawasan yang efektif dan efisien. Dasar-dasar yang dipakai dalam TPI adalah:
1.      Batas diameter minimum tebangan,
2.      Rotasi tebang,
3.      Adanya pohon inti (pohon yang akan membentuk tegakan utama pada rotasi tebang berikutnya),
4.      Adanya penanaman pengayaan,
5.      Pencegahan erosi dan pengamanan hutan.
Ketentuan mengenai jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan batas diameter yang boleh ditebang sesuai dengan ketentuan TPI, seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Bata Diameter Boleh Ditebang Sesuai Ketentuan TPI 1972
Batas diameter yang boleh ditebang (cm)
Rotasi (th)
Jumlah pohon inti yang ditinggalkan (batang)
Diameter pohon inti (cm)


50
35
25
≥35

40
45
25
≥35

30
55
40
≥20

Pada Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa bila batas diameter (limit diameter) yang dapat ditebang 50 cm keatas, maka rotasi tebang yang digunakan 35 tahun dengan jumlah pohon inti yang ditinggalkan adalah 25 batang dengan diameter pohon inti 35 cm keatas.
Alternatif kedua adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 40 cm keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 45 tahun dengan jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan adalah 25 batang per ha dari diameter 35 cm keatas.
Alternatif ketiga adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 30 cm keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 55 tahun dengan jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan adalah 40 batang per ha dari diameter 20 cm keatas.
Pada Tabel 1 diatas TPI telah memikirkan bervariasinya hutan kita sehingga mengajukan tiga alternatif untuk memudahkan pelaksanaannya di lapangan. Pada waktu itu rotasi tebang yang digunakan di Indonesia khususnya untuk penentuan jatah penebangan tahunan (JPT) adalah 35 tahun dengan riap diameter 1 cm/tahun sehingga alternatif pertamalah yang dianut.
Sistem silvikultur TPI terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 21/1970. Menurut Soerianegara (1992), limit (batas) diameter yang digunakan ialah lazim digunakan dalam eksploitasi hutan luar jawa. Rotasi (siklus) tebang ditentukan berdasarkan perkiraan bahwa riap diameter pohon pada tegakan bekas tebangan ialah 1 cm per tahun. Angka ini didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan bekas tebangan di Sumatera Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona, yang menyebutkan riap diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar didasarkan pada perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm minimal 5 m3, sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal 25 x 25 m3/ha atau 125 m3/ha.
 Pada saat pelaksanaan SK Dirjen Nomor 35 diatas yang jadi permasalahan penerapannya pada hutan-hutan tropika basah kita adalah bervariasinya hutan-hutan Alam sehingga terbentur pada kurangnya jumlah pohon inti pada bagian-bagian tertentu pada Hutan-hutan  Alam Produksi di Indonesia. Oleh karena itu Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada tahun 1980 mengadakan penyempurnaan Pedoman Tebang Pilih Indonesia sebagai berikut.
Tabel 2.  Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang  (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Tahun 1980)
No Batas
Jenis Hutan
Diameter
 Tebangan (cm)
Rotasi Tebangan (th)
Jumlah Pohon Inti (batang)
Diameter Pohon
1
Hutan alam campuran
50
35
25
>20
2
Hutan eboni campuran
50
45
16
>20
3
Hutan ramin campuran
35
35
15
>20
Pada Tabel penyempurnaan pedoman TPI diatas telah terlihat bahwa Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada saat itu mencoba untuk memecahkan masalah kurangnya jumlah pohon inti yang dapat ditinggalkan pada areal bekas tebangan pada hutan-hutan tropika basah Indonesia yaitu dengan mengemukakan dua tipe vegetasi lainnya selain hutan alam campuran yaitu hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm keatas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha (tidak 40 batang per ha lagi seperti Tabel 1 sebelumnya). Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun dan batas diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm keatas dengan riap diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun).
Dari hasil laporan pengumpulan data/informasi pelaksanaan TPI 1987 pada beberapa HPH (Riau : PT. Silvasaki, Jambi; PT. Hatma Santi, Kalbar; PT. Kayu Lapis Indonesia, Kalsel; PT. Inhutani II dan PT. Hutan Kintap, Kaltim; PT. Inhutani I, PT. ITCI dan PT. BFI) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan Fakultas Kehutanan IPB dimana penulis termasuk dalam Tim IPB sebagai bahan untuk Tim Materi Diskusi Penyempurnaan Pedoman TPI yang dipimpin Komar Sumarna, M.S. (yang waktu itu Direktur Pelestarian Alam, Dirjen PHPA, Dephut) Pada areal HPH diatas, pada hutan-hutan bekas tebangan  jumlah pohon inti per ha dari diameter 20 cm keatas cukup yaitu lebih besar dari 25 pohon per ha demikian pula  tingkat permudaan, tiang, pancang dan semai mencukupi yang berarti kelestarian hutan pada rotasi ke 2 (dua), dan seterusnya akan terjamin.

B.     Syarat Pelaksanaan TPI Serta Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Syarat Tersebut
Dalam pelaksanaannya, sistem silvikultur TPI mensyaratkan adanya inventarisasi tegakan dan permudaan, penunjukkan dan penandaan pohon inti, serta penunjukkan dan penandaan pohon yang akan ditebang. Sebelum penebangan harus sudah dipersiapkan persemaian dari jenis-jenis pohon kayu perdagangan. Untuk membatasi kerusakan tegakan hutan perlu dipersiapkan tempat pengumpulan kayu, penggunaan teknik penebangan, dan pengangkutan yang menyelamatkan pohon muda atau permudaan jenis-jenis pohon perdagangan dan pohon inti. Usaha-usaha yang perlu dikerjakan setelah selesai penebangan adalah inventarisasi tegakan sisa, pembebasan, penanaman sulaman, pencegahan erosi dan pengamanan hutan dari perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan.
Dalam pedoman TPI tersebut juga disebutkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran atau ketidak mampuan memenuhi ketentuan tersebut. Macam sanksi yang dikenakan adalah peringatan, denda, penurunan target tebang tahunan dan penanaman kembali. Urutan pelanggaran mulai dari ringan sampai yang berat berupa pencabutan HPH. Pelanggaran lebih difokuskan pada kerusakan permudaan pohon berharga dan kerusakan pohon inti.
Pedoman pengawasan terhadap pelaksanaan TPI meliputi pengawasan di kantor dan di lapangan. Pengawasan di kantor dikerjakan dengan meneliti dan menilai laporan, daftar isian dari pengusaha hutan. Pemeriksaan di lapangan dilakukan untuk mengetahui apakah pekerjaan dilakukan sesuai peraturan. Hal yang penting untuk diteliti adalah hasil inventarisasi tegakan dan permudaan, pelaksanaan logging plan, penunjukkan dan penandaan pohon inti dan pohon ditebang, persemaian, inventarisasi tegakan tinggal dan derajat kerusakan. Setelah 5 tahun tebangan perlu diteliti hasil pelaksanaan penanaman, pembebasan dan penjarangan. Bersama-sama dengan pemegang HPH mengawasi dan mencegah terjadinya perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan terhadap tegakan tinggal.
C.    Perbedaan Antara TPI Tahun 1972, TPTI Tahun 1989, dan TPTI Tahun 1993
TPI Tahun 1972
TPTI Tahun 1989
TPTI Tahun 1993
Jumlah pohon inti ditentukan jumlahnya 25 btg/ha yang letaknya tersebar merata. Diameter 30 cm up
Jumlah pohon inti ditentukan 25 phn/ha. Setiap PU ada 1-2 pohon inti dengan interval diameter 20-49 cm
Jumlah pohon baruan (tinggi >20 cm) 200 btg/ha termasuk pohon inti (diameter 20-49 cm) yang jumlahnya 25 pohon dengan jarak antar pohon 5-9 m
Kegiatan pembebasan untuk membebaskan pohon inti. Waktunya belum ditentukan hanya saja diperlukan setelah penebangan
Kegiatan pembebasan:
a.       Pembebasan horizontal
b.      Pembebasan vertikal
Kegiatan pembebasan horizontal diganti dengan kegiatan perapian. Waktu Et+1
Waktu pemeliharaan Et+10,15,20
Waktu pembebasan Et+1,4
Waktu pembebasan Et+2,4,6
Belum ada kegiatan penjarangan
Waktu penjarangan Et+9,14,19
Waktu penjarangan Et+10,15,20
Pembangunan persemaian wajib dilaksanakan
Persemaian sederhana, bukan yang permanen
Persemaian sederhana
Pengayaan/penyulaman dilakukan Et+1. Pelaksanaanya tidak jelas
Pengayaan 1 PU harus ada 16 semai, bila kurang harus dipenuhi jumlahnya dengan penyulaman. Waktu Et+2
Pengayaan Et+3, dilakukan bila >25 PU (>1ha) tidak cukup permudaan

D.    Pergantian Sistem Silvikultur TPI Menjadi Sistem Silvikultur TPTI
Penyempurnaan sistem TPI selanjutnya dilakukan dengan pembentukan Tim/Panitia oleh Departemen Kehutanan yang hasilnya berupa Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 mengenai Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia, dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.564/KPTS/IVBPHH/ 1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) beserta Lampirannya.
Sistem silvikultur TPI tahun 1972 tersebut berlaku sampai tahun 1989 sejak terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Meskipun ada revisi tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia oleh Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi tahun 1980, namun pada kenyataan di lapangan tetap menggunakan sistem silvikultur TPI tahun 1972 (pasal 6 Kepmen No. 485/Kpts-II/1989 ).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia dapat dilakukan dengan sistem silvikultur:
1.      Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2.      Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3.      Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Dari Kepmen No. 485 tersebut telah dibuat Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/kpts/IVBPHH/1989) dan 10 (sepuluh) Petunjuk Teknik Pelaksanaannya. Di dalam pedoman TPTI tersebut disajikan tujuan, sasaran dan tahapan kegiatan, ketentuan umum, pengertian beberapa istilah penting, pelaksanaan TPTI dan organisasi dan pelaporan palaksanaan TPTI.
Di dalam ketentuan umum prinsip-prinsip sistem silvikultur TPI tahun 1972 dan hasil revisi sistem silvikutur TPI tahun 1980 telah diadopsi, antara lain:
1.      Jumlah pohon inti minimal 25 pohon per ha, batas diameter batang yang boleh ditebang adalah 50 cm sedangkan rotasi tebang 25 tahun.
2.      Etat tebangan tahunan disesuaikan dengan rotasi tebang dan volume standing stock kayu perdagangan
3.      Pemegang HPH perlu membuat organisasi pembinaan hutan yang terpisah dengan organisasi logging, termasuk penggunaan tenaga teknis kehutanan serta anggaran yang memadai untuk kegiatan pembinaan (hal ini yang ditekankan dalam TPTI tahun 1989 dan berbeda dengan sistem silvikultur TPI tahun 1972)
4.      Adanya pengecualian dan penyesuaian untuk hutan dengan komposisi dan struktur yang khusus:
a. Pedoman untuk sistem silvikultur yang terpisah untuk hutan payau.
b.Pada hutan rawa dengan komposisi jenis komersial khusus seperti ramin, perupuk dan lain lain dan pemegang HPH tidak sanggup atau sulit melaksanakan penanaman atau pengayaan diijinkan menebang pohon maksimal 2/3 dari jumlah pohon yang dapat ditebang.
c. Pada kondisi hutan rawa yang tidak ditemukan pohon berdiameter 50 cm ke atas seperti pada hutan ramin campuran, maka khusus untuk ramin dapat diturunkan batas diameter pohon menjadi 35 cm dengan jumlah pohon inti sedikitnya 25 pohon per ha berdiameter 15 cm ke atas, sedangkan rotasi tebang ditetapkan 35 tahun.
d.                  Pada kondisi hutan dengan jumlah pohon muda berdiameter 20-49 cm sebagai pohon inti kurang dari 25 pohon per ha maka kekurangannya harus ditambah dengan jenis komersial lain yang berdiameter di atas 50 cm dan berfungsi sebagai pohon induk.
e. Pada kondisi hutan dengan jenis komersial lambat tumbuh dan sulit ditemukan pohon berdiameter 50 cm ke atas seperti hutan eboni campuran, maka batas tebangan diturunkan menjadi 25 cm, jumlah pohon inti 25 pohon per ha berdiameter 15 cm ke atas dan rotasi tebang ditetapkan 45 tahun.

E.     Kelebihan dan Kelemahan Sistem Silvikultur TPI
Sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) ini merupakan suatu  sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dan permudaan hutan. Sistem ini merupakan suatu perpaduan antara sistem-sistem tebang dengan batas minimum diameter dari Indonesia, tebang pilih Filipina (selective logging), penyempurnaan hutan dengan tanaman pengayaan (enrichment), dan pembinaan permudaan dengan pembebasan tumbuhan pengganggu.
Pertimbangan yang digunakan dalam sistem silvikultur TPI adalah azas kelestarian hutan (tidak terjadi penurunan produksi pada siklus tebang berikutnya, penyelamatan tanah dan air dan perlindungan alam), Teknik silvikultur (kesesuaian dengan kondisi ekologi, tipe hutan dan sifat-sifat tumbuhan) dan, memungkinkan pengusahaan hutan mendapatkan keuntungan serta memungkinkan adanya pengawasan yang efektif dan efisien. Sehingga penerapan sistem silvikultur ini tidak menyebabkan terjadi kerusakan hutan.
Namun sistem silvikultur ini juga memiliki kelemahan tersendiri, seperti kegiatan pengawasannya yang lemah sehingga mengakibatkan tidak tercapainya target utama yaitu kelestarian hutan, serta pelaksanaan kegiatan-kegiatannya juga belum tersusun dengan baik bila dibandingkan dengan sistem silvikultur TPTI, dan pemberian sanksi terhadap pelanggara-pelanggaran ketentuannya juga berlangsung tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.






















PENUTUP
Kesimpulan
1.      Sistem silvikultur TPI merupakan sistem silvikultur yang hanya dapat diterapkan di hutan produksi.
2.      Landasan hokum sistem silvikultur TPI ialah Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia.
3.      Dasar-dasar yang dipakai dalam TPI adalah: Batas diameter minimum tebangan, rotasi tebang, adanya pohon inti, adanya penanaman pengayaan, dan pencegahan erosi dan pengamanan hutan.
4.      Dalam pelaksanaannya, sistem silvikultur TPI mensyaratkan adanya inventarisasi tegakan dan permudaan, penunjukkan dan penandaan pohon inti, serta penunjukkan dan penandaan pohon yang akan ditebang.
5.      Sanksi-sanksi bagi pelanggaran ketentuan-ketentuan sistem silvikultur TPI adalah peringatan, denda, penurunan target tebang tahunan dan penanaman kembali. Urutan pelanggaran mulai dari ringan sampai yang berat berupa pencabutan HPH.
6.      Jumlah pohon inti pada system silvikultur TPI ditentukan jumlahnya yaitu 25 btg/ha yang letaknya tersebar merata dengan diameter 30 cm up.
7.      Kegiatan pembebasan untuk membebaskan pohon inti waktunya belum ditentukan hanya saja diperlukan setelah penebangan.
8.      Waktu pemeliharaannya ialah Et+10,15,20.
9.      Belum ada kegiatan penjarangan pada sistem silvikultur ini.
10.  Pengayaan atau penyulaman dilakukan Et+1. Namun pelaksanaanya tidak jelas.
Saran
            Diharapkan sistem silvikultur TPI ini dapat dijadikan sebagai dasar serta pertimbangan untuk menentukan sistem silvikultur yang lebih baik agar pengelolaan hutan kita dapat berjalan dengan baik walaupun sistem sudah tidak digunakan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972. tentang Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan dan Pedoman Pengawasannya, Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta.

Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1980. Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur. Pelaksanaan dan Pengawasan. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, Jakarta.

Indrawan, A. 1998. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur Di Indonesia. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Istomo, dkk. 2010. Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut Di Indonesia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan Konservasi Alam. Bogor
Sianturi, A. 2007. Pengelolaan Hutan Produksi Dengan Swakelola Di Indonesia. Peneliti dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Soerianegara, I. 1971. Sistem-sistem silvikultur untuk hutan hujan tropika di Indonesia. Pengumuman (Communication) No. 98. Lembaga Penelitian Kehutanan. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian RI.